Pagi ini yang berkabus-berjerebu.Cuaca pagi yang biasanya dingin entah mengapa hilang segarnya.Burung-burung yang biasanya bercericau bagai kehilangan nafsu untuk bersiulan.Alam pagi yang biasanya begitu alami namun pagi ini entah mengapa seolah-olah hilang serinya.Mungkin kerana cuaca yang seperti enggan bersahabat lagi membuatkan alam tidak lagi begitu alami.
Begitu pun tuntutan tugas tidak memungkinkan aku berterusan mengelamun mengeluh tentang bumi yang hilang simpati atau udara yang hilang segar atau angin yang tidak lagi sudi bersepoi-sepoi bahasa...mungkin alam mulai bosan melihat tingkah kita,teringat aku kepada bait-bait lagu puisi Ebiet G Ade.
Dan tentunya masa tidak mendambakan kita untuk mengelamun,putaran roda hidup ini menuntut untuk kita terus bergerak dan mara.
Dalam kereta sambil menyelak lembaran-lembaran kertas yang perlu,tiba-tiba HP berdering tanda ada mesej yang masuk.Mesej dari Sasterawan SahruNizam:"Sasterawan dan budayawan terkenal Indonesia WS Rendra telah kembali ke rahmatullah semalam.Al-fatihah",begitulah bunyi sms yang tertera di kc HP.Spontan ku ucapkan dari Dia kita datang dan kepada Dia kita kembali.
Ya,penyair,sasterawan,budayawan,penulis,dramawan (pemain teater),seorang manusia yang penuh dengan humanisme,dengan kemanusian yang tanpa tedeng aling-aling akan melontarkan kritikan dan kecaman diatas kebobrokan yang dirasainya yang dilihat oleh kedua bola matanya dan diresapi akan kesedihan akan kezaliman itu di hati sanubarinya.Dia,Si Burung Merak yang akan mengirai bulu-bulunya demi kepercayaan dan prinsip serta kebenaran yang di yakininya dengan sungguh-sungguh.Dia,seorang Rendra yang tidak pernah berkompromi dengan prinsip.
Selain Pramoedya Ananta Toer,aku begitu mengkagumi Rendra.Puisi-puisinya yang aku baca dan hayati sedari sekolah menengah lagi membuka mata-hati untuk melihat dunia dan alam ini dari sudut yang lebih halus-tajam-kritis.Alhamdulillah aku punya kesempatan untuk bertemu muka dan bertentang mata,malah menyalami beliau.Antologi puisi Rendra tertera tandatangan beliau menjadi harta yang tidak ternilaikan.
Selamat jalan wahai Si Burung Merak.Semoga rohmu dirahmati Ilahi dan ditempatkan di kalangan orang-orang soleh.Al-fatihah...
Jakarta (ANTARA News) - Setelah dirawat karena menderita serangan jantung koroner, budayawan dan penyair besar Indonesia WS Rendra wafat pada usia ke-74 di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat.Pendiri Bengkel Teater yang termasyur itu dikenal sebagai seniman serba bisa, tidak hanya budayawan terkemuka nasional, penyair dan dramawan besar, namun juga seorang aktor.
Disutradarai Sjuman Djaya, dan berpasangan dengan aktris Yati Octavia, pada 1977, Rendra pernah membintangi film remaja "Yang Muda Yang Bercinta," namun kemudian dilarang beredar karena tujuan-tujuan politis saat itu.
Dalam salah satu penampilan puisi terkenalnya pada Mei 1998, di ruang gedung DPR RI semasa awal reformasi, almarhum berorasi dengan membacakan puisi karya aktivis dan penyair Wiji Thukul yang kesohor, "Hanya ada satu kata, Lawan!"
Jauh sebelum itu, pada 1990an, bersama para seniman dan musisi seperti Iwan Fals, Setiawan Jodi, Sawung Jabo, dan lainnya, Rendra menggelar konser Kantata Takwa yang fenomenal dan mengusik rezim Orde Baru saat itu, diantaranya dengan menggelegarkan lagu "Bento" yang penuh kritik.
Di luar kehidupan rumah tangganya yang ramai oleh perhatian media, Rendra mungkin merupakan salah seorang sastrawan Indonesia paling berpengaruh tidak hanya pada dunia seni dan sastra nasional kontemporer, namun juga pada pergerakan sosial dan politik Indonesia pada empat dekade terakhir.
Lahir pada 7 November 1935 di kota Solo, Jawa Tengah, Rendra yang juga cerpenis ini pernah berkuliah pada Jurusan Sastra Inggris, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setelah sebelumnya menamatkan SD sampai SMA di St. Yosef, Solo, pada 1955.Pada 1964, dia memperoleh beasiswa dari American Academy of Dramatical Art, sampai selesai menempuhnya pada 1967.
Salah seorang ikon sastra nasional yang dikenal dengan sebutan "Si Burung Merak" ini terlahir dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah, dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra.Sejak masa remaja, Rendra sudah terbiasa menulis naskah drama sampai kemudian menjadi salah seorang dramawan besar Tanah Air, namun dikenal sebagai sastrawan independen dan memiliki ciri khasnya sendiri.
Oleh karena itu, mengutip Prof. A. Teeuw dalam "Sastra Indonesia Modern II (1989)" seperti ditulis Wikipedia Indonesia, Rendra tidak termasuk pada satu pun angkatan sastrawan Indonesia, baik Angkatan 45, Angkatan 60an ataupun Angkatan 70an.
Rendra menikah tiga kali dengan tiga perempuan berbeda. Pertama pada 31 Maret 1959 dengan Sunarti Suwandi yang darinya dia dikarunia lima anak, yaitu Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa dan Klara Sinta.Kedua, pada 12 Agustus 1970, dia menikahi murid seninya yang juga keturunan Keraton Yogyakarta, Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat. Dari Sitoresmi, Rendra dikaruniai Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Terakhir, Rendra menikahi Ken Zuraida, hingga kemudian dikarunia Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Pada 1979 dan kemudian pada 1981, Rendra berturut-turut menceraikan Sitoresmi dan Sunarti.
Diantara belasan naskah drama terkenalnya adalah "Orang-orang di Tikungan Jalan," "Panembahan Reso," dan "Kasidah Barzani." Rendra juga menulis banyak puisi dan sajak, diantaranya yang terkenal adalah "Nyanyian Angsa" dan "Sajak Rajawali." Rendra juga beberapa kali memperoleh penghargaan sastra, diantaranya yang prestisius adalah Penghargaan Adam Malik pada 1989, S.E.A. Write Award pada 1996, dan Penghargaan Achmad Bakri pada 2006. (*)dipetik dari ANTARA NEWS
No comments:
Post a Comment